Transisi Paud-SD yang Menyenangkan dengan Merdeka Belajar: Menyiapkan Pundak Anak yang Kokoh Iman, Jiwa, Raga, dan Kepribadiannya

By chikitadinda - 20.01

Menyiapkan pendidikan anak tidak hanya berfokus pada perencanaan keuangannya saja. Menyiapkan nominal uang tertentu dengan financial planning yang baik, tetapi lebih dari itu. Kondisi di lapangan terkadang banyak orang tua yang lebih sibuk menyiapkan prosedur pendaftaran sekolah anak, sibuk membandingkan fasilitas sekolah, mempersiapkan pembiayaannya, tetapi mungkin tidak banyak orang tua yang memiliki kesadaran bahwa berpindahnya anak-anak kita dari masa PAUD ke Sekolah Dasar bukan sekedar dan sesederhana berpindah dari jadi anak TK ke jadi anak SD. Tetapi sejatinya ada banyak sekali fondasi-fondasi yang harusnya dipersiapkan dan perlu lebih utama untuk kita -sebagai orang tua- pikirkan hari ini. Inilah mengapa proses tentang iman, tentang kesiapan jiwa, kesiapan raga itu menjadi sangat penting.


Spirit yang ingin saya bangun sebagai orangtua (biidznillah), bahwa hari ini anak-anak kita hidup di dunia yang tidak lagi sama dengan jaman saya kecil dulu. Saat ini anak-anak sudah dengan sangat mudah mengakses teknologi begitu cepat. Tentunya dengan berbagai tantangan yang ada di generasi ini, kita harus bergandengan tangan untuk mengasuh generasi ini. Tidak bisa sendirian. Kita sedang mengasuh generasi bukan cuma seorang anak.

Mereka tidak selamanya menjadi anak-anak, tetapi adalah generasi yang melanjutkan kita. So, berbagai kesulitan ini berkontribusi untuk jangka panjang. Sebagai orang tua, kita harus menjadikan masa ini masa paling menyenangkan bagi mereka. Meskipun rasanya capek, banyak bicara dan tingkah, ngeberantakin rumah, orang tua perlu menyakini bahwa anak-anak kita kelak jadi generasi yang meneruskan kita yang lebih baik. 

Karena sejatinya tugas kita sebagai orang tua adalah mengantar dan mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada Allah SWT dan menjalani hidupnya dengan baik dan tanpa kita nanti.

Sejatinya proses mengasuh adalah sebuah reasoning dan jawaban, "kenapa bukan calistung yang menjadi indikator keberhasilannya?". Karena calistung nggak cukup untuk menjadi bekal hidup bahwa anak bisa bertanggung jawab kepada Allah. Realitanya banyak anak yang pandai secara teori ternyata akhlak-nya kurang baik. Inilah mengapa yang lebih penting ditanamkan ke anak-anak untuk kita latih adalah keterampilan hidup. Hal-hal inilah yang ia perlukan agar hidupnya lebih baik nantinya.

Itulah mengapa sering kulihat untuk bisa mengenalkan warna, gerakan wudhu, memakai sepatu, para guru PAUD niat membuat display, menciptakan lagu-lagu. Hal ini agar nempel ke anak saat proses pembelajaran dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Proses belajar yang menyenangkan.

Karena ternyata bermain-main itu bagian kesenangan hidup yang bisa membantu anak-anak menikmati hidupnya di masa depan.

Sering dijumpai orang-orang dewasa yang stres karena terlalu kaku. Untuk itu perlu anak-anak diajarkan bagaimana sih menikmati kebahagiaan kecil, menikmati kesenangan. Hal ini yang perlu menjadi pembiasaan dari kecil.

Yang selalu menjadi jangkar agar bisa tetap kuat dalam masa-masa 'struggle' ini adalah kalimat, "Kita cuma nganter kok. Ini tidak akan lama. Masa kanak-kanaknya hanyalah sebentar." Lakukan proses ini dengan cara terbaik yaitu dengan memenuhi hak anak dengan sebaik-baiknya.

Mungkin dalam perjalanannya akan menemukan hal-hal yang kurang menyenangkan.

"Ngajarin anak makan sendiri lama, lebih baik disuapin aja cepet kelar"
"Nungguin anak naliin sepatu sendiri lama, kebih baik dipakein aja biar nggak telat"

Betul. Segala yang pintas pasti lebih enak.

Tapi perlu diingat kalau mengasuh sekedar mengendalikan situasi dan bikin anak nurut itu sangat mudah.

Tapi apakah itu akan memberikan oleh-oleh yang jadi bekal hidupnya? Bisa jadi nggak.

Sebagai orang tua, kita baiknya mempersiapkan dan mengantarnya bukan menjalani kehidupannya
Salah satunya transisinya adalah dengan memberikan kepercayaan untuk anak bisa melakukan aktifitasnya sendiri tanpa banyak larangan dari kita.

Anak-anak perlu mengalami rasanya terjatuh, dingin, digigit nyamuk, dll.
Tidak perlu terlalu melindungi sampai akhirnya menjalani kehidupannya

Sebagai contoh adalah saat masa pandemi kemarin. Banyak kutemukan beberapa orang tua yang heboh ngerjain tugas sekolah anaknya. Pada akhirnya yang kesulitan pun juga orang tuanya. Inilah yang dinamakan "menjalani kehidupannya". Tentunya kita sebagai orang tua nggak mau, kan?

Percaya, rumah selalu bisa menjadi awal mula terciptanya kebaikan dan berbagai lompatan besar lainnya. Untuk bisa menjalani transisi yang menyenangkan, ada beberapa aspek yang penting untuk orang tua perhatikan:

1. Bagaimana Kita Melihat Anak Kita Hari Ini?

Mari menarik nafas sejenak, pandangi wajah anak kita, bagaimana kita melihat mereka saat ini?

Sebagai sebuah anugerah? 
Atau sebagai seseorang yang membuatmu lelah?

Inilah yang perlu dievaluasi pertama sebelum anak masuk SD.
"Akutuh udah melihat anak sebagai anugerah belum, sih?"
"Sudah bersyukur kah?"
"Apakah ia menyenangkanku atau malah bebanku?"

2. Orangtua Adalah Aktor Utama Pengasuhan

Selama 15 tahun pertama, orangtua bertanggung jawab penuh memberikan pendidikan terbaik bagi anak. Pendidikan yang dapat membangun dan menumbuhkan iman, jiwa, raga, dan kepribadiannya

Dalam tahap ini, kita akan melihat setiap anak akan melewati satu demi satu tangga belajar, dimana semua tahapan bermakna. Karenanya tidak berlaku lebih cepat lebih baik. Contoh: Anak A udah bisa X, kok anakku belum ya? Karena setiap anak punya waktu tumbuh sendiri.

Pada setiap tahap ada tugas perkembangan yang harus dicapai dan memerlukan bimbingan orangtuanya. Seperti analogi menanam pohon:
  • Usia 0-7 menyiapkan pondasi/lahan tanam: pastikan tanah gembur, maka dia akan mudah ditanami berbagai benih.
  • Usia 7-10 fase menanam/forming tahap 1
  • Usia 10-12 forming tahap 2, persiapan aqil baligh
  • Usia >= 14 performing
Ku bagikan tabel perbedaan Anak Usia Dini (0-7 th) versus Calon Orang Dewasa (7-12 th) menurut Ust. Drs. Adriano Rusfi, Psikolog.


Isu yang sangat penting dipahami oleh orang tua ada pada fase peralihan, dari raja menjadi tawanan.

Mungkin akan ditemukan anak-anak SD kelas 1 belum bisa duduk tenang, lari-larian, menangis. Karena lebih dari itu, anak sekolah bukanlah dituntut untuk duduk mendengarkan dan memperhatikan pelajaran disekolah. Tetapi lebih pada keterampilan problem solving, mencari solusi, sosial, dll.

Pada usia 6 ke 7, kita perlu untuk punya kepekaan meraba masa peralihan. Seberapa gembur sih lahan ini untuk kita tanam?

Tujuannya: agar anak mampu menerima adab dan perintah dengan senang hati; serta mengajar regulasi diri, merasa tetap nyaman meski bukan lagi pusat semesta.

Ini adalah proses yang tricky. untuk itu kita sebagai orangtua diminta kesadaran penuh bahwa ia adalah calon orang dewasa.

Untuk memposisikan diri perlu adanya seni tarik-ulur, gas-rem.

Terdapat hal-hal penting pada anak usia 7-10 tahun yang perlu orang tua perhatikan:
  1. Ini adalah golden age fitrah belajar dan bernalar
  2. Egosentris perlahan bergeser menuju sosiosentris, mulai terbuka eksplorasi dunia di luar dirinya secara maksimal
  3. Sensorimotor diasumsikan sudah tumbuh lebih sempurna di fase sebelumnya (perintah shalat membutuhkan ghirah belajar, diharapkan fitrah keimanannya sudah matang di fase sebelumnya)
  4. Perintah shalat di usia 7 sebagai titik kritis dimulainya adab sebagai perintah dan pondasi untuk tahap selanjutnya 
Ada beberapa hak dasar anak di tiga tahap usia, kita sebagai orang tua perlu untuk memenuhinya:


Apa saja yang perlu kita sebagai orang tanamkan ke anak? Jawabannya adalaah IMAN.
Untuk bisa mandiri, tanggung jawab, bersosial, serta kemampuan berpikir dengan landasan iman disetiap aspeknya.

Mandiri dalam hal ini artinya anak memiliki kemampuan untuk bisa mengenal, memenuhi dan mengelola kebutuhan diri tanpa banyak bergantung pada orang lain.

Dalam kurikulum merdeka pada usia SD, anak harus bisa meregulasi diri (pengelolaan diri vs harapan sosial: harmonis dengan orang lain). Apakah ini terjadi secara tiba-tiba? Tentu tidak. Harus hadir dari anak yang mandiri (vocabulary diri vs pengelolaan diri: harmonis dengan diri sendiri). Mandiri itu pun tidak terjadi tiba-tiba, tetapi hasil dari anak yang MEN DIRI. Yaitu yang mengenal dirinya, kenal apa yang ia suka, memahami diri, serta merawatnya, dan ini adalah proses yang panjang. 

Tanggung jawab, dalam hal ini sanggup (mau dan mampu*) untuk memikul/menanggung apa yang menjadi pilihannya.
*Mau: bertemunya indera dengan rasa takzim
*Mampu: membedakan, memilih, memilah, menolak, menata

Fase ini tidak lama, hanya sebentar. Yuk, penuhi hak main, eksplorasi, dicintai dengan tulus. Jadikan kenangan yang kan terbawa sepanjang hayatnya.

Tahun awal kehidupan anak penuh makna, penuh imajinasi, bukankah sayang apabila yang kita lihat seolah "hanya main", "ga mau diam", "hanya acak-acak", "sulit diatur" akan menjadi tangga pertama yang menjadi pondasi seumur hidupnya? 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments