Prophetic Parenting for Boys: #2 Mengarahkan Kecenderungan Seksual Anak Laki-Laki

By chikitadinda - 11.31

Dalam rangkaian tulisan bertajuk "Prophetic Parenting for Boys", aku akan share hasil belajar dari buku karangan Abu Abdurrahman Al-Faruq berjudul "Cara Nabi Muhammad SAW Mendidik Anak Laki-Laki". Harapannya bisa kubaca ulang dikemudian hari dan semoga bisa bermanfaat juga buat kalian yang dapet artikel ini untuk tambahan ilmu.

Bagian Kedua: Mendidik Anak Laki-Laki Sejak Penyapihan Hingga Usia Baligh


"Inilah masa penentuan itu, yaitu ketika seorang anak bersiap diri menuju taklif (beban syariat telah terpikul di pundaknya). Bersiap diri untuk menjadi manusia sesungguhnya yang bertanggung jawab atas dirinya di hadapan Allah SWT." --Abu Abdurrahman Al-Faruq

- Mengenalkan Mahram

Sebagian orang masih belum mampu membedakan antara mahram dengan muhrim. Perlu diketahui bahwa mahram adalah seseorang yang haram dinikasi, sedangkan muhrim adalah seseorang yang sedang berinhram (haji atau umrah). Terkait mahram, Allah SWT menyebutkannya secara rinci dalam Al-Quran surah An-Nisa (4) ayat ke-23, antara lain: ibu kandung, anak kandung perempuan, saudara kandung perempuan (kakak permepuan dan adik perempuan), bulik dan bude (saudara perempuan ayah), bulik dan bude (saudara perempuan ibu), keponakan perempuan (anak perempuannya adik atau kakak), ibu susuan, saudara perempuan sepersusuan (baik anak kandung ibu susuan ataupun yang lain), ibu mertua, anak perempuan tiri (yang ibunya telah dikumpuli), menantu perempuan, dua perempuan bersaudara (tidak boleh menikahinya bersamaan).

Dengan mahra, seseorang dapat berinteraksi lebih dibandingkan dengan yang bukan mahram. Dalam kondisi tertentu, misalnya, anak laki-laki bisa mengantarkan (memboncengkan) bulik atau budhenya. Demikian pula bila kelak memiliki keponakan perempuan, maka diperbolehkan berboncengan selama aman dari fitnah.
Mengetahui mahram akan memudahkan seseorang berinteraksi sehingga tidak sampai terjerumus kepada dosa, terutama di musim hari raya yang ada tradisi bersalaman atau bermaaf-maafan. Sebaliknya, tidak masalah dengan saudara perempuan sekandungnya (dengan adik kandung atau kakak kandung), dengan bulik atau bude dari pihak ayah ataupun pihak ibu, dan seterusnya.

- Memisahkan Tempat Tidur

Sebetulnya, tidak hanya anak laki-laki dan perempuan yang harus dipisahkan tempat tidurnya. Kalaupun anak-anak kita perempuan semua atau laki-laki semua, syariat tetap memerintahkan untuk memisahkan tempat tidurnya. Idealnya, rumah keluarga muslim memiliki banyak kamar agar anak biasa tidur terpisah dari orangtua dan saudara-saudaranya. Rasulullah SAW bersabda:

"Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia 10 tahun (jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkan tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan)!"

Pemisahahan tempat tidur anak dengan orangtuanya serta anak dengan saudara-saudaranya mengandung hikmah berharga, diantaranya:

Pertama, melatih keberanian. Sebab, tidak jarang anak takut dengan kegelapan, kesendirian, hantu, dan sebagainya. Dengan memisahkan tempat tidurnya, dia akan terbiasa tidur sendiri. Ini akan melatih mental keberaniannya. Kita juga dapat menanamkan kepada mereka agar tidak takut karena selalu ada Allah SWT yang menjaganya.

Kedua, melatih kemandirian. Dengan tidur di kamarnya sendiri, anak akan belajar bertanggung jawab dengan dirinya, barang-barangnya, dan sebagainya. Dia juga akan belajar membersihkan dan menata kamarnya, merapikan tempat tidurnya, dan seterusnya.

Ketiga, menjaga mereka agar tidak mempunyai kecenderungan dan menyukai saudaranya, baik sesama jenis maupun berbeda jenis. Kasus-kasus incest (hubungan seksual dengan saudara sekandung) dapat dihindari dengan memisahkan tempat tidur mereka semenjak dini. Kalaupun mereka sesama jenis, hal ini akan menghindarkan mereka dari penyakit gay ataupun lesbian.

Kalaupun tidka bisa memisahkan kamarnya karena kondisi rumah belum memungkinkan, paling tidka berusaha menyendirikan kasur atau tempat tidurnya sehingga mereka bisa tidur berjauhan meski berada dalam satu kamar. Wallahu A'lam Bishawab.

- Meminta Izin Masuk Kamar Orang Tua

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلٰثَ مَرّٰتٍۗ مِنْ قَبْلِ صَلٰوةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِّنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْۢ بَعْدِ صَلٰوةِ الْعِشَاۤءِۗ ثَلٰثُ عَوْرٰتٍ لَّكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌۢ بَعْدَهُنَّۗ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلٰى بَعْضٍۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

وَاِذَا بَلَغَ الْاَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوْا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

"(58). Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan) yaitu, sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan setelah salat Isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu; mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (59). Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."

Ibnu Katsir menjelaskan agar budak-budak dan orang-orang yang belum baligh meminta izin ketika hendak memasuki ruangan atau kamar kita (orangtuanya) pada tiga keadaan:

Pertama, sebelum Subuh. Sebab, saat itu umumnya seseorang masih berada di peraduan. Kedua, ketika menanggalkan pakaian luar mereka di tenagh hari, tepatnya pada waktu istirahat siang. Sebab, saat itu seseorang sering melepas bajunya dan beristirahat dengan didampingi istrinya. Ketiga, setelah shalat isya. Sebab, waktu itu digunakan untuk tidur.

- Mengenalkan Aurat Kepada Anak

Dalam pendidikan aurat, kita diberikan pemahaman kepada anak tentang batas aurat laki-laki dan perempuan. Jika aurat perempuan meliputi seluruh badan, kecuali muka dan telapak tangan; maka berbeda dengan laki-laki. Aurat laki-laki itu diantara pusar dan lutut. 

Terkait cadar ada perbedaan di kalangan ulama. Ada yang mewajibkan sebagaimana Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin. Namun ada pula yang menganggap sebagai keutamaan dan tidak wajib seperti Syaikh Al Lbani -meski beliau sendiri memerintahkan istri dan anak-anak perempuannya bercadar.

Dengan memahami batasan aurat, anak laki-laki akan memiliki rasa malu jika sampai kelihatan auratnya. Dia akan merasa risih apabila mengenakan celana pendek yang kelihatan pahanya ketika berada diluar rumah dan bertemu teman-temannya. Orangtua harus bisa menjadi contoh dalam hal ini. Sebab, anak menjadikan orangtua sebagai panutannya.

Apabila orangtua biasa memakai celana yang tidak menutup aurat di hadapan anak lelakinya, maka dia pun tidak akan merasa risih dan malu ketika mengenakan hal yang sama saat bermain dengan teman-temannya.

Demikian pula anak perempuan. Apabila dia sering menjumpai ibunya mengenakan pakaian yang tidak menutup aurat ketika keluar rumah, maka akan timbul sebuah pemahaman dalam benaknya bahwa mengenakan pakaian semacam itu tidak menjadi masalah ketika keluar rumah. 

- Pakaian Untuk Anak Laki-Laki

Dalam mengenalkan aurat laki-laki, anak juga kita biasakan untuk mengenakan pakaian yang baik dan menutup aurat. Pakaian yang mencerminkan identitasnya sebagai seorang laki-laki muslim. Bulan hanya mengenakan pakaian yang mengikuti mode.

Banyak tokoh film kartun yang gambarnya membanjiri pasaran, juga kaus-kaus bola yang nama pemainnya sedang naik daun. Sebagai orang tua, jangan sampai sekadar membelikan kaus bergambar tanpa mengetahui tokoh dibaliknya. Kalau pemain bola yang diidolakan adalah Muslim yang shalih, tentu tidak masalah. Akan tetapi, kalau yang diidolakan justru adalah orang kafir dan pelaku kumpul kebo, apakah layak kita membiarkan anak-anak kita mengenakan kaus yang bertuliskan namanya.

Dalam adab berpakaian ini, kita juga harus membiasakan anak untuk berpakaian sesuai kepentingannya. Ketika bermain, dia bebas mengenakan kaus oblong bergambar. Akan tetapi, ketika pergi ke masjid untuk menunaikan shalat, kita biasakan agar dia mengenakan kemeja, utamanya berwarna putih karena sangat disukai oleh Rasulullah SAW. Bukan karena malu kepada manusia tetapi malu kepada Allah SWT. Kita menanamkan rasa malu anak kepada Allah SWT jika mengenakan pakaian yang kurang layak ketika masuk kedalam masjid.

Pendidikan ini semakin dini kita menanamkannya akan semakin membawa dampak yang baik di masa depan. Kelak dia memiliki akhlak yang baik kepada Allah SWT yakni dengan menggunakan pakaian terbaik yang dimilikinya saat menghadap Sang Pencipta.

Pembiasaan mengenakan pakaian ini dimaksudkan agar anak bisa tumbuh sesuai dengan kodratnya sebagai laki-laki. Seseorang yang berperilaku kebanci-bancian mulanya juga laki-laki tulen. Ketika mulai memiliki kecenderungan kewanita-wanitaan kemudian dituruti; mullai dari berdandan, mengenakan rok, kerudung, dan sebagainya. Pada puncaknya ia merasa nyaman menjadi seorang wanita. Demikian pula seorang wanita yang kelaki-lakian atau tomboi, boleh jadi bermula dari pergaulannya, kemudian pakaian yang dikenakannya.  Padahal. Rasulullah SAW melaknat kaum wanita yang kelaki-lakian. 

- Mengarahkan Jenis Permainan Kelaki-lakian

Seorang anak laki-laki mestinya diberikan mainan yang membawa kecenderungan kepada kelaki-lakiannya. Mainan anak laki-laki dan perempuan tentu berbeda. Laki-laki cenderung suka dengan aneka ketangkasan seperti pedang-pedangan, robot-robotan, mobil-mobilan, dan semisalnya; sedangkan mainan anak perempuan identik dengan boneka, mainan aat-alat masak, dsb.

Di zaman Nabi Muhammad SAW, dalam melatih anak berpuasa, para sahabat menyibukkan anak-anak mereka dengan mengajaknya membuat anak panah dari bulu. Ketika dinikahi Rasulullah SAW, Aisyah masih bermain dengan bonekanya. Abu Umair, anak Ummu Sulaim, memiliki mainan burung kecil yang diberi nama Nughair.

Permainan merupakan hiburan bagi anak-anak. Biasanya mereka memiliki kecenderungan tersendiri dalam memimilih permainan yang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Kendati demikian, orangtua tetap perlu mengarahkan. Sebab tidak jarang anak menyukai permainan yang berkebalikan dengan dunianya. Sejak kecil, sebaiknya orangtua mengarahkan permainan untuk anak-anak begitu juga ketika memilih teman-teman untuknya.

Anak laki-laki kecenderungannya mesti diarahkan pada permainan yang sifatnya kelaki-lakian. Kita ajari anak kita untuk memanah, berkuda, dan berenang sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasullah SAW. Kalau perlu ajari mereka beladiri, bermain tombak ataupun pedang sebagai bentuk i'dad (persiapan fisik) yang diperintahkan oleh Allah SWT. Penjelasan selengkapnya, insyaAllah akan dibahas pada "Bagian Keempat: Pendidikan Keperwiraan untuk Anak Laki-Laki".

- Memilihkan Teman untuk Anak

Teman memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang, bahkan agamanya. Selayaknya, kita sebagai orangtua selektif dalam memilihkan teman untuk anak laki-laki kita. Kriteria pertama adalah akidahnya, kemudian akhlaknya. Jangan biarkan anak bergaul dengan teman yang berbeda keyakinan dan juga berakhlak buruk. Sebab nanti dapat menggoyangkan akidahnya dan menularinya untuk berakhlak serupa.

Ketika masih kecil dan dalam pengawasan orang tua lingkungan yang baik dapat membentuk kepribadiannya. Akan tetapi, ketika anak sudah mulai keluar rumah, bergaul dengan teman-temannya di sekolah, akhlaknya baik di rumah bisa tergerus oleh pergaulan dan kesalahannya dalam memilih teman sekolah. Sebab masa-masa ini adalah waktu yang sangat rawan dengan berbagai gangguan. Bila tidak dibentengi dengan keimanan yang kuat dan akhlak mulia dia bisa terjatuh dalam lingkungan yang buruk.

- Mengenalkan Tanda-Tanda Baligh

Diantara tanda baligh seseorang adalah mulai tumbuhnya rambut kemaluan, baik sedikit maupun banyak. Adapun tanda lainnya antara lain: telah mimpi basah (ihtilam), telah berumur 15 tahun (qamariyah), baik sudah pernah mimpi basah maupun belum; baik sudah haid maupun belum. 

Tanda-tanda baligh tersebut perlu dikomunikasikan dengan anak-anak agar mereka bisa semaksimal mungkin mempersiapkan diri ketika hendak memasuki masa taklif. Dan ketika anak benar-benar masuk masa taklif mereka sudah siap menyambutnya dengan penuh rasa tanggung jawab.

- Keika Anak Mulai Tertarik Lawan Jenis

Ketika memasuki usia baligh biasanya akan tumbuh pada diri anak perasaan suka kepada lawan jenisnya. Tidak jarang perasaan semacam itu telah hadir meski belum baligh. Perasaan cinta semacam itu wajar asalkan kita bisa menyikapinya dengan bijak. Tidak langsung menyanggah dan menyerang tetapi mengajaknya berdialog dari hati ke hati.

Mari kita belajar kepada Nabi Ibrahim AS ketika diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail. Kendati perintah itu begitu jelas, tetapi Nabi Ibrahim AS masih tetap mengajak anaknya berdialog (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 102).

Sungguh terhadap perintah Allah yang nyata-nyata jelas saja masih ada ruang untuk berdialog apalagi menyikapi kecenderungan anak ketika menyukai lawan jenisnya, yang memang merupakan fitrah insani, tentu kita mesti lebih bijak lagi. Kita ajak bicara dari hati ke hati, menegaskan kepadanya bahwa dalam Islam tidak ada istilah pacaran. Hal ini kita sampaikan dengan bahasa yang selembut dan sebijak mungkin disertai dengan alasan alasan syar'i nya. Jangan sampai anak terpengaruh teman-temannya ikut-ikutan pacaran karena belum ada pencerahan dari orangtua tentang buruknya pacaran dalam kacamata syariat.

Rasa cinta kepada lawan jenis merupakan fitrah manusia. Kendati begitu kita tentu tidak ingin anak-anak terjerumus dalam lembah cinta palsu yang penuh kemaksiatan berjuluk pacaran bukan. Mari kita arahkan agar anak-anak bisa seoptimal mungkin memanfaatkan masa mudanya untuk meraih cita-cita yang tinggi dan mulia. Kalaupun nanti mereka sudah siap untuk menikah, kita dapat turut andil memberikan saran dan masukan bahkan mencarikan pendamping hidup untuknya.

- Mengajarkan Mental Kemandirian

Sungguh mosaik kehidupan Rasulullah SAW menyimpan khasanah yang luar biasa, tak terkecuali dalam proses pembentukan kepribadian anak laki-laki. Sekilas kehidupan beliau penuh dengan keprihatinan. Namun sejatinya menyimpan pendidikan dan penggemblengan jiwa yang akan menakjubkan bagi siapa saja.

Sejak berada dalam kandungan beliau sudah ditinggal meninggal oleh ayahnya. Ketika berusia 4 tahun beliau berada di bawah pengasuhan ibunda tercinta. Ketika usia 6 tahun sudah menjadi yatim piatu karena ibundanya juga meninggal sepulang menziarahi makam ayahnya.

Kita perhatikan, sosok manusia ini telah ditempa oleh Allah SWT sejak kecilnya. Kelak ini menjadi ajang pendewasaan baginya. Ketika berusia 6 tahun beliau berada dalam pengasuhan kakek yang sangat menyayanginya. Ketika masa masa seorang anak kecil dekat dengan kakeknya, Allah SWT memisahkan mereka karena kakeknya juga wafat ketika beliau berusia 8 tahun.

Pada usia 8 tahun inilah beliau survive. Beliau hidup bersama pamannya yang miskin hingga kemudian anak seusia kelas 2 SD itu harus bekerja menggembala kambing milik tetangganya demi mencukupi kebutuhannya. Ketika berusia 12 tahun atau seusia anak kelas 6 SD, beliau ikut misi dagang ke Syam. Dan pada usia 25 tahun beliau menikahi seorang kolongmerat kaya raya bernama Khadijah ra dengan mahar 20 ekor unta muda.

MasyaAllah! bagaimana beliau mampu memiliki harta sebanyak itu untuk mahar pernikahannya? Dari integritas dalam berbisnis, kejujuran, sehingga beliau mampu menjadi pebisnis yang andal dan menghasilkan banyak keuntungan. Pendidikan kemandirian anak dapat kita tanamkan dengan menyampaikan kisah-kisah sirah yang penuh keteladanan seperti ini.

Sangat berbeda peri kehidupan Nabi Muhammad SAQ dengan konsidi riil anak-anak kaum muslimin zaman ini. APa yang bisa dikerjakan oleh anak kelas 2 SD? Bahkan hingga lulus SMA atau sarjana banyak yang masih menengadahkan tangan ke orangtua tidak mampu menegakkan kepala dengan mencari pekerjaan ataupun membuka lapangan pekerjaan.

Selain itu, tidak jarang anak "dilatih" untuk menjadi pemalas semenjak kecil dengan segala fasilitas dan kebutuhannya yang dicukupi. Tidak mencuci pakaiannya sendiri karena ada pembantu. Apa-apa diambilkan dan tinggal perintah. Segala fasilitas lengkap tersedia sehingga menjadi pemalas dan tidak memiliki jiwa kemandirian.

Dalam peri kehidupan Rasulullah SAW kita menyimak bahwa beliau biasa menambal terompahnya sendiri, menjahit bajunya sendiri, dan mengerjakan pekerjaan dengan tangannya sendiri. Beliau juga mencuci pakaiannya sendiri, memerah susu dombanya, dan membereskan urusannya sendiri.

Mental kemandirian ini dapat kita latih sejak dini kepada anak. Ketika anak mulai belajar pipis di kamar mandi, kita ajarkan kepadanya agar bisa cebok sendiri. Kita ajarkan pula bagaimana mengenakan celana sendiri dan membereskan mainannya sendiri. Kelak dia dapat belajar memasak, mencuci piring, membuat teh atau minumannya sendiri, dsb. Kita mulai dari yang kecil dan sederhana untuk melatih kemandiriannya terus berkembang seiring dengan bertambahnya usia.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments