Sakral dan Profane (Mircea Eliade) dalam Pluralisme Indonesia

By chikitadinda - 09.14

Materi kali ini saya ditugaskan memaknai agama dari seorang antropolog, Mircea Eliade. Dalam pandangannya, kehidupan selalu terdiri atas dua dimensi, yakni “yang sakral” (the sacred) dan “yang profan” (the profane). Dimensi sakral agama meliputi ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan dan keuasaan yang tidak terbatas (Tuhan). Sementara dimensi profan agama direpresentasikan ke dalam ekspresi dan simbol keberagamaan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang yang suci dengan yang biasa atau yang sering dikatakan yang sakral dan sekuler atau duniawi, Sebab tidak memiliki ciri khusus yang bisa dibedakan. Apabila kita memperhatikan benda-benda dan wujud-wujudnya kita tidak akan dapat menemukan jawabannya sebab bukan benda-benda itu yang memberi tanda dari yang sakral. Masyarakatlah yang mengsakralkan melalui upacara-upacara dan diabadikan dalam ajaran-ajaran kepercayaan mereka.



Menurut Eliade, saat bersinggungan dengan yang sakral, orang-orang merasa bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi. Mereka merasa bahwa telah bersentuhan dengan sebuah realitas yang tidak seperti realita lain yang pernah mereka kenal. Sebuah dimensi eksistensi dahsyat-menggetarkan, sangat berbeda, benar-benar riil yang bersifat transenden dan suci.

Bagi Eliade ketika berbicara tentang yang sakral, maka perhatian utamanya adalah dengan hal-hal yang supernatural. Hal-hal yang luar biasa dan mengesankan, suatu wilayah yang teratur dan sempurna, rumah leluhur, pahlawan, dan dewa-dewi, abadi, penuh dengan substansi dan realitas. Sedangkan, yang profan adalah hal-hal yang biasa, wilayah urusan sehari-hari, penuh bayang-bayang, bisa hilang, kacau, dan merupakan arena urusan manusia.

Dengan lingkungan yang plural seperti di Indonesia, kemampuan membedakan wilayah “yang sakral” dan “yang profan” menjadi sangat penting. Karena adanya pemahaman berbeda-beda terkait “yang sakral” dan yang profan” tadi, apa yang biasa kita anggap profan menjadi begitu sakral dalam suatu agama, dan memang ini tidak masalah, karena universalitas ini ada di dalam diri manusia walau contoh-contoh konkretnya berbeda dari apa yang selama ini anggap biasa-biasa saja (profan). Jika tidak dipahami dengan baik, hal itu yang bisa memunculkan banyaknya gesekan. Ada beberapa orang yang menganggap sesuatu pada wilayah sakral, padahal sebenarnya termasuk profan, begitupun sebaliknya.

Sangat disayangkan para penganut agama cukup sering tidak benar-benar menarik garis pembeda yang jelas antara “yang sakral” dan “yang profan”. Pada praktiknya, sakralitas dan profanitas agama sering dipahami sebagai dua hal yang bisa ditukarkan. Praktik yang lazim ditemui adalah banyaknya praktik keberagamaan yang sebenarnya bersifat profan dianggap sebagai hal yang sakral. Bahkan tidak jarang, semua hal yang berhubungan dengan agama, termasuk simbol dan ekspresi keagamaan, dianggap sebagai hal yang sakral.

Seharusnya kita yang beragama ini dapat menarik garis batas antara sakralitas dan profanitas agama. Saat ini kenyataan di lapangan alih-alih mengedepankan toleransi dan sikap saling menghargai, komunitas beragama kerap memakai etika utilitarian dalam mengekspresikan keberagamaannya di ruang publik. Etika utilitarianisme bertumpu pada asas kehendak kebahagiaan mayoritas dan menafikan kepentingan minoritas.

Maknanya, kebahagiaan paling hakiki adalah yang dirasakan oleh anggota masyarakat mayoritas atau paling banyak, meski itu berarti menganulir kehendak kebahagiaan kelompok minoritas.

Praktik utilitarianisme dalam beragama ini marak kita saksikan dalam ruang publik kita. Ekspresi keberagamaan diumbar di ruang publik, bukan semata bagian dari ekspresi kesalehan spiritual, namun lebih untuk menunjukkan sikap merasa superior sebagai kelompok mayoritas. Sebagian dari kita bangga lalu bersikap jumawa jika ekspresi keberagamaan kita berhasil mendominasi ruang publik.



---
Sumber:
Eliade, Mircea. Sakral dan Profan. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments