Agama Sebagai Konstruksi Sosial II (Emile Durkheim dan Peter L. Berger)

By chikitadinda - 10.38

Materi kali ini cukup menarik, mengingat saya harus melihat agama dari sudut pandang kedua tokoh terkenal dalam sosiologi, yaitu Emile Durkheim dan Peter L. Berger. Saya kemudian mencoba menggali satu per satu pemikiran mereka dari buku-buku yang ditulisnya.

Karena mereka memiliki latar belakang sosiologi, pandangan mereka terkait agama dikembangkan sebagai sesuatu yang memproyeksikan atau mengekspresikan realitas/kenyataan yang mungkin/bisa ditelaah secara rasional. Kalaupun dalam agama terdapat realitas yang adikodrati/supranatural, pada akhirnya realitas tersebut tidak sepenuhnya bersifat adikodrati.

Seperti yang dipaparkan oleh Durkheim tentang agama, bahwa keyakinan dan ritual yang ada dalam agama mengekspresikan tentang sesuatu yang sakral. Dan menurut pandangannya, yang sakral itu tidak lain dari tatanan sosial yang dibangun oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, realitas sesungguhnya dari fenomena agama tidak lain daripada tatanan sosial yang dibangun oleh manusia sendiri.



Menurut Durkheim, relasi antara agama dan masyarakat sangat intim karena agama terbentuk dari social current (arus sosial) ketika masyarakat tradisional melakukan ritual peribadatan dengan menyucikan sesuatu yang disebut dengan totem. Agama dipandang oleh Durkheim sebagai sumber norma dalam masyarakat (pedoman masyarakat ketika berperilaku) sehingga setiap masyarakat memerlukan agama karena dapat membentuk moral setiap individu.

Namun sayangnya dalam mengkaji sebuah agama, Durkheim hanya memfokuskan tentang agama yang ada pada masyarakat tradisional Suku Arunta di Australia dan tidak mengkaji tentang agama-agama wahyu (Samawi) yang biasa dikenal dengan sebutan “agama modern”.

Sedangkan Berger dalam bukunya “The Social Construction of Reality” mengatakan bahwa, “man constructs his own nature, or more simply, that man produces himself”. Mengapa manusia perlu melakukan proyeksi semacam ini? Hal ini bersumber dari kesadaran manusia akan eksistensinya yang terbatas sehingga sebisa mungkin memaknai kehidupan bahkan kematiannya.

Agama dalam konteks ini berperan sebagai universum simbolik, berfungsi menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar dan menolong setiap orang untuk kembali pada realitas hidup sehari-hari. Artinya, agama memberikan legitimasi atas tatanan dunia sosial, melindungi diri dari chaos.

Dengan demikian agama sangat berperan dalam membentuk perilaku masyarakat, dan mampu membangun kesadaran manusia untuk bertindak sesuai dengan dinamika nilai dalam masyarakat. Dalam konteks ini, agama yang berintikan iman (belief) akan mengarahkan bahkan membentuk perilaku masyarakat (practice). Belief yang dalam ranah sosiologis dikategorikan sebagai sesuatu yang abstrak dan berada dalam wilayah kesadaran (mind) akan mendeterminasi perilaku dan tindakan (matter) yang dilakukan oleh manusia, baik sebagai individu atau masyarakat.

Bagi Berger, agama tidaklah semata-mata “efek” atau “refleksi” kehidupan sosial saja, tetapi lebih dari itu realitas agama mengatasi fenomena manusiawi. Berger dalam konteks ini memasuki wilayah substansi agama. Berger berusaha mendefinisikan agama melalui kerangka substantif “sakral”, yaitu agama tidak hanya dipahami sebagai suatu “produk manusia” yang dibuat dari bahan-bahan yang manusiawi saja, tapi juga non-manusiawi. Oleh karena itulah, bagi Berger agama sesungguhnya tidak sekadar melindungi, tapi juga “sakral”.

Namun, berbeda dengan Durkheim ketika berbicara tentang yang sakral dan profan, yang selalu berada dalam konteks persoalan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhannya, atau hanya sebatas aspek sosial/empiris. Bagi Berger yang sakral itu tidak hanya berkaitan dengan gambaran sosial saja, tetapi juga suatu kepercayaan terhadap wilayah supranatural. Arti penting sosial agama mendapat tempat yang signifikan dalam pemahaman Berger, tetapi dia juga menyadari bahwa agama itu memiliki sisi metafisik. Namun sayang sekali Berger tidak menjelaskan sisi metafisik ini seperti penjelasannya yang cukup komprehensif tentang agama dari sisi empiris.

Namun dalam teori ini sepertinya muncul ambiguitas yang sebenarnya inilah cara Berger untuk menjembatani ketegangan antara kutub yang hanya menekankan aspek empiris/sosial agama dengan kutub yang hanya menekankan aspek metafisik agama. Tentu ini tidak terlepas dari pemikiran awal Berger yang juga mencoba menjembatani dua kutub yang bersitegang tentang teoretisasi realitas sosial dalam sosiologi, antara kutub yang pro masyarakat sebagai realitas sosial dengan kutub yang pro individu sebagai realitas sosial.



Sumber:
Daniel Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, Yogyakarta: Ircisod, 2001
Peter L. Berger, The Social Construction of Reality (terj. Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan), Jakarta: LP3ES, 1990

  • Share:

You Might Also Like

0 comments